Sebuah laporan mengatakan Twitter secara diam-diam meningkatkan akun pengguna profil tinggi tertentu, termasuk Elon Musk, menggunakan algoritme kepemilikan. Algoritme dilaporkan mempromosikan tweet dari pengguna ini ke audiens yang lebih luas, secara efektif memperkuat pesan mereka dan memberi mereka visibilitas yang lebih besar di platform.
Menurut artikel tersebut, beberapa akun lain yang diduga didorong oleh algoritme Twitter termasuk akun pengguna Twitter populer yang dikenal sebagai “dril” dan bintang YouTube MrBeast. Laporan The Verge mengklaim bahwa promosi ini terjadi tanpa sepengetahuan atau persetujuan dari pengguna tersebut.
Meskipun Twitter belum mengomentari secara spesifik laporan ini, perusahaan telah mengakui bahwa mereka menggunakan algoritme untuk merekomendasikan konten kepada pengguna berdasarkan minat dan perilaku mereka. Twitter juga mencatat bahwa kadang-kadang mempromosikan konten tertentu ke audiens yang lebih luas melalui saluran promosinya sendiri, tetapi ini dilakukan berdasarkan kasus per kasus dan tidak dipengaruhi oleh insentif keuangan.
Laporan Verge menimbulkan beberapa pertanyaan penting tentang peran platform media sosial dalam membentuk wacana publik dan memperkuat suara tertentu atas yang lain. Kritikus berpendapat bahwa promosi algoritmik Twitter untuk akun tertentu menciptakan medan permainan yang tidak seimbang dan memberikan pengaruh yang tidak semestinya kepada beberapa pengguna terpilih, yang berpotensi mendistorsi opini dan debat publik.
Pada hari Jumat, Elon Musk akan merilis sistem rekomendasi Twitter. Namun secara internal, ada keraguan bahwa kode yang dirilis akan memberikan gambaran lengkap mengapa orang melihat tweet tertentu. Jika daftar rahasia pengguna diberikan perlakuan istimewa, apa gunanya? 3/
— Zoë Schiffer (@ZoeSchiffer) 28 Maret 2023
Dalam kasus Elon Musk, promosi ini dapat dianggap sangat memprihatinkan mengingat sejarah pernyataan kontroversialnya di Twitter. Musk dituduh menggunakan platform tersebut untuk memanipulasi harga saham perusahaannya dan menyebarkan informasi yang salah tentang COVID-19. Jika Twitter memang mempromosikan tweet-nya ke khalayak yang lebih luas, hal itu bisa dianggap terlibat dalam tindakan tersebut.
Perlu dicatat bahwa Twitter bukan satu-satunya platform media sosial yang menghadapi pengawasan atas promosi algoritmiknya untuk konten tertentu. Facebook, misalnya, telah dikritik karena mempromosikan berita palsu dan teori konspirasi, sementara YouTube dituduh memperkuat konten ekstremis.
Secara keseluruhan, laporan Verge tentang dugaan promosi akun tertentu oleh Twitter menimbulkan pertanyaan penting tentang kekuatan platform media sosial dan perlunya transparansi dan akuntabilitas yang lebih besar dalam cara platform ini beroperasi. Karena media sosial terus memainkan peran yang semakin penting dalam membentuk wacana publik, penting bagi kita untuk memiliki pemahaman yang lebih baik tentang cara kerja platform ini dan dampaknya terhadap masyarakat kita.
Selain mempromosikan akun pengguna profil tinggi seperti Elon Musk, laporan Verge menunjukkan bahwa algoritme Twitter juga dapat mempromosikan akun sayap kanan tertentu ke khalayak yang lebih luas. Menurut laporan tersebut, beberapa komentator dan pakar konservatif telah melihat peningkatan yang signifikan dalam keterlibatan dan jangkauan mereka di platform dalam beberapa bulan terakhir.
Promosi akun sayap kanan ini telah menimbulkan kekhawatiran di antara beberapa pengguna Twitter dan kelompok pengawas, yang berpendapat bahwa hal itu dapat berkontribusi pada penyebaran informasi palsu atau berbahaya. Misalnya, beberapa tokoh sayap kanan dituduh menyebarkan teori konspirasi tentang pemilihan presiden AS 2020, serta informasi yang salah tentang COVID-19 dan vaksin.
Perlu dicatat bahwa Twitter sebelumnya telah mengambil langkah-langkah untuk memerangi penyebaran informasi palsu dan konten berbahaya di platformnya. Setelah pemilu 2020, perusahaan memperkenalkan langkah-langkah untuk menandai dan menghapus tweet palsu atau menyesatkan tentang hasil pemilu. Perusahaan juga telah memperkenalkan kebijakan untuk mengatasi ujaran kebencian dan pelecehan di platform.
Namun, kritikus berpendapat bahwa langkah-langkah ini mungkin tidak cukup untuk mengatasi masalah yang lebih luas dari amplifikasi algoritmik suara tertentu di platform. Mereka berpendapat bahwa hingga perusahaan media sosial lebih transparan tentang cara kerja algoritme mereka dan lebih bertanggung jawab atas konten yang mereka promosikan, masalah promosi konten yang tidak setara dan berpotensi berbahaya akan tetap ada.